Kidung Pengampun

Oleh: Ferry Fauzi Hermawan
Sumber: eL-Ka hal. 24-29, Sabili No. 5 TH. XVII 24 September 2009 / 5 Syawal 1430

Mulut malam belum menganga benar, saat kampung Cisegok dikejutkan oleh serak adzan dari surau pak Mahmud. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan adzan itu. Orang yang mengumandangkannya tetap sama: pak Mahmud yang renta. Urutan kata-katanya pun tak ada yang beda. Namun, yang membuat geger para warga adalah nadanya. Adzannya menggunakan nada lagu Begadang, Rhoma Irama!

Mungkin untuk kali pertama, kejadian ini dapat dimaklumi. Apalagi yang adzan sudah tua. Namun, hal ini telah terjadi tiga hari berturut-turut. Hampir setiap datangnya waktu shalat, pak Mahmud adzan dengan nada Begadang.

Para warga keluar dari rumahnya masing-masing. Mereka geram dengan tingkah pak Mahmud. Kaum lelakinya turun ke jalan. Memenuhi gang-gang kampung Cisegok. Beriringan satu tujuan, surau pak Mahmud.

“Tidak bisa dibiarkan. Sudah kelewat batas. Ini bisa merusak akidah anak-anak!” kata kang Somad pada Gufron sambil bergegas.

“Betul, kang! Bisa berbahaya. Akang sebagai sesepuh kampung harus bertindak,” jawab Gufron.

“Saya setuju, kang. Kita labrak. Agama diolok-olokkan seperti ini. Pamali,” timpal Asep.

Kaum lelaki yang entah berapa itu berbicara sama. Mereka membawa gemuruh yang besar di dada. Semuanya ingin meluruskan. Menjadi pembela agama adalah sebuah kewajiban.

“Saudaraku sekalian, kita harus selesaikan masalah ini secepatnya dan membawa pak Mahmud kembali ke jalan yang benar. Tapi ingat, kepala kita harus tetap dingin. Tidak boleh main hakim sendiri. Tidak ada kekerasan. Ingat!” teriak kang Somad.

“Tapi kang, ini pelecehan bagi agama. Masa kita tidak bertindak. Kalau tidak dikasih pelajaran, nanti ia malah ngelunjak, kang!” sahut Sobar tak setuju dengan usul kang Somad.

Sejenak kang Somad berpikir. Ia bingung harus bagaimana. Aksi marah para warga ini tentunya tak akan reda seketika. Mereka kadung geram dengan ulah pak Mahmud.

“Kang, ini masalah agama. Harus tegas dan lurus!” kata Gufron membuyarkan pikiran kang Somad.

“Pokoknya kita bicarakan baik-baik dulu dengan pak Mahmud,” tukas kang Somad.

“Kalau pak Mahmudnya tidak merasa salah, bagaimana?”

“Iya kang, bagaimana?” sahut yang lain.

“Diusir saja kang, daripada kena azab.”

“Baik-baik, kita lihat nanti. Kalau misalnya pak Mahmud tidak mau kembali ke jalan yang benar, apa boleh buat,” kata kang Somad.

Langkah semakin dipercepat. Jalanan yang becek tidak menjadi masalah. Hingga akhirnya mereka tiba di surau pak Mahmud. Surau yang sudah tua, setua penghuni setianya. Kondisinya sudah jelek. Catnya banyak yang mengelupas. Lampu lima watt yang menerangi luar tampak byarpett. Di dalam samar-samar terlihat pak Mahmud shalat sendirian.

“Kita tunggu sampai pak Mahmud beres shalat. Sobar dan Gufron ikut ke dalam, yang lain tunggu di luar!” kata kang Somad.

Hampir sepuluh menit mereka menunggu pak Mahmud selesai shalat. Kang Somad, Gufron, dan Sobar beranjak masuk ke surau. Mereka singsingkan celana saat melewati kolam di depan surau.

“Assalaamualaikum!” derit pintu mengiringi saat mereka masuk ke dalam.

“Wa’alaikumsalam.”

Mereka bertiga mendekati pak Mahmud. Kang Somad berjalan paling depan diikuti Gufron dan Sobar dari belakang. Sesudah bersalaman, mereka duduk berjejer berhadapan dengan pak Mahmud. Kang Somad di tengah diapit oleh pengiringnya. Setelah berbicara ke sana kemari, akhirnya kang Somad berterus-terang tentang maksud kedatangannya:

“Pak Mahmud, sebenarnya selain ingin bersilaturahmi dengan bapak, kami juga ingin bertanya sesuatu yang menjadi ganjalan di hati. Perihal adzan yang bapak kumandangkan tiga hari ini.”

Lho, memang ada apa dengan adzan saya?” tanya pak Mahmud heran.

“Itu, anu, adzannya pak Mahmud aneh,” sahut Gufron ikut bicara.

“Aneh bagaimana?”

“Jadi begini pak. Pak Mahmud adzan dengan nada Begadang-nya Rhoma Irama. Inilah yang membuat aneh para warga hingga geger,” kang Somad melembutkan suaranya.

“Iya, pak. Aneh sekali!” timpal Gufron.

Mendengar hal itu, pak Mahmud malah tersenyum. Sambil mengelus jenggotnya yang putih, pak Mahmud berkata:

“Memang, apa yang saya lakukan itu salah? Dari mana kalian dapat menyimpulkan bahwa apa yang saya lakukan itu salah?”

Ketiga orang itu tersentak mendengar pertanyaan pak Mahmud. Mereka bersambung tatap. Hening menyergap dari belakang.

“Jadi bapak sengaja adzan seperti itu?” Sobar memecah kebuntuan.

“Iya,” jawab pak Mahmud.

“Bapak tidak tahu kalau para warga resah dengan ulah bapak. Pak Mahmud telah menghina agama!”

“Menghina yang mana? Meresahkan siapa?”

“Kami! Orang kampung Cisegok!” Sobar mulai tak sabar.

“Ah itu mah cuma perasaan kalian saja. Apa yang saya lakukan baik, kok. He, he, he.”

“Bajingan tua, malah ngeles, ha! Dasar bandot!” teriak Sobar mulai melayangkan tinjunya ke muka pak Mahmud.

Brug! Seketika tubuh pak Mahmud terjengkang. Kang Somad dan Gufron terkejut melihat adegan itu. Saat Sobar akan melayangkan tinju yang kedua kali, buru-buru mereka berdua memegangi tubuhnya.

“Bar, sudah! Tenangkan dirimu. Aku bilang pake kepala dingin. Bukan bogem!” teriak kang Somad. Dada Sobar naik turun tak karuan.

Pak Mahmud bangkit dan duduk kembali. Tangannya memegangi pipi kiri yang terkena pukulan dari Sobar.

“Eh bandot! Masih kuat kau. Sini kubikin remuk tulang peotmu!” teriak Sobar.

“Sudah! Fron, bawa si Sobar ke luar. Biar akang saja yang berbicara dengan pak Mahmud,” kata kang Somad.

Gufron menurut. Ia beringsut membawa Sobar yang masih marah ke luar. Terdengar kecipak air saat mereka turun dari surau.

“Maaf pak atas kelakuan Sobar tadi. Saya juga sudah mewanti-wanti agar bisa menjaga emosi, tapi sepertinya ia tidak dapat menjaga emosinya. Pak Mahmud tidak apa-apa?” kang Somad memulai pembicaraan.

“Tidak. Kita lanjutkan lagi. Sampai mana tadi?”

“Anu, sampai alasan bapak adzan seperti itu?”

“Kan sudah saya katakan. Kalau saya tidak mempunyai maksud apa-apa. Saya hanya menjalankan kewajiban saya untuk adzan. Tak ada maksud lain.”

“Lalu, mengapa bapak adzan memakai nada yang aneh? Apa itu bukan pentuk pelecehan? Apa bapak tidak takut kena azab dari Allah?”

“He, he, he. Selama ini kita terlalu takut pada Allah, sehingga lupa bagaimana cara mencintai-Nya. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan agama. Hanya untuk sekedar variasi saja, tho.”

“Lho, variasi apa?” tanya kang Somad heran.

Sambil memegang janggutnya yang putih, pak Mahmud berkata:

“Mad, saya hanya mengikuti zaman saja. Saya rasa orang-orang kampung sudah bosan dengan adzan yang biasa. Dari dulu tidak ada perubahan. Dari kecil mereka hanya mendengar adzan yang sama. Menyebabkan mereka menjadi jengah dengan adzan. Buktinya setiap saya adzan, tak ada orang kampung yang tergugah ikut shalat berjamaah di sini. Orang-orang kampung lebih tertarik dengan alunan dangdut dibandingkan adzan saya. Makanya saya berpikir, adzan saya pun harus dibuat menarik agar ada orang yang datang ke surau ini. Saya menggunakan nada Begadang karena saya tidak tahu nada lain, selain nada itu,” lirih pak Mahmud.

Mendengar jawaban pak Mahmud, kang Somad seakan ditelanjangi. Ia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sela tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Mukanya memerah. Dada kang Somad serasa dihantam beban yang berat. Cepat-cepat ia pamit meninggalkan surau. Orang-orang yang sedari tadi menunggunya, bertanya-tanya. Mereka ingin mengetahui hasil yang diperoleh kang Somad.

“Bagaimana kang?”

“Apa hasilnya, kang?”

“Jadi, pak Mahmud kita usir dari kampung?”

Kang Somad hanya berkata, “Tunggu saja adzan subuh besok. Kalau masih sama, terserah kalian.”

Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka akan menunggu apa yang terjadi subuh nanti.

Pukul 03.30 dini hari, orang-orang kampung Cisegok sudah bangun. Mereka menunggu suara adzan dari suaru pak Mahmud. Seperti menunggu kode togel buntut, dadanya berpacu kencang. Tepat saat jarum jam menunjuk pada angka 04.15, suara serak pak Mahmud terdengar. Helaan nafas nyaring terdengar dari hidung para warga. Mereka lega karena pak Mahmud kembali adzan dengan normal. Mereka pun melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda.

Sementara itu di surau, pak Mahmud duduk termenung sendirian. Ia menunggu seseorang yang ingin berjamaah dengannya. Lama pak Mahmud menunggu. Hingga waktu shalat subuh hampir habis, tak ada yang datang menghampiri. Akhirnya, pak Mahmud memutuskan untuk shalat sendirian.

Leave a comment